Kau tentu sudah banyak menduga aku akan bicara soal ini, dan kali ini
dugaanmu benar. Hari ini adalah sehari jelang semifinal divisi utama LPIS,
artinya Super Elja main tinggal menunggu waktu. Kau barangkali berpikir, final
dari liga yang sia-sia adalah kebohongan paling wajar yang mungkin bisa
dibayangkan. Pikiranmu tak meleset. Tapi ada satu celah yang tak bisa
membohongimu, bahwa kebahagiaan tidak pernah berhenti pada kata final, semifinal
maupun final itu sendiri. Kau tentu sering mendengar kata-kata ini, kukira
semua orang pernah, “ bermainlah seperti semua pertandingan adalah pertandingan
terakhir.” Lafleur, legenda Montreal yang mengalahkan Boston Bruins dengan
memar di mana-mana yang mengatakan itu. Kukira, tanpa ia yang mengatakannya,
kata-kata ini akan tetap populer. Kalau kau tak pernah mendengarnya, paling
tidak kata-kata ini pernah terlintas di pikiranmu, “ puasalah seperti ini
adalah ramadhan terakhirmu.” Aku tak tahu dari mana datang kalimat demikian,
yang jelas keduanya sama-sama merujuk pada the
last game, final, pucuk puncak dari sebuah tarekat. Kita tahu sama tahu, keduanya
menawarkan kepura-puraan. Lewat kata “seperti”, segala usahamu cuma mentok pada
tahap menyerupai. Namun sebagai sebuah motivasi, kata-kata demikian memang sah.
Setiap cinta layak dapat kerinduan paling lamat. Dalam hal ini, kita
sebagai pecinta PSS Sleman tentu sadar, bahwa tiap pertandingan PSS yang kita
nanti adalah bagian dari cinta itu sendiri. Artinya, jauh bahkan sebelum PSS
jadi terkenal seperti sekarang, setiap pertandingan PSS tak pernah main-main. Pertandingan
PSS, seperti semua pertandingan sepakbola lainnya, adalah kisah. Ia tak pernah
berhenti pada kata “permainan.” Persiapan, jerih keringat, usaha panjang, gol,
offside, keadilan, mafia, judi, kemiskinan, gairah, kidung-kidung suporter,
semuanya adalah rangkaian alami untuk membuat permainan ini naik kelas menjadi
kisah. Seperti kautahu, ungkapan naik kelas dari permainan ke kisah barusan memang
ide pokoknya datang dari esai Zen Rahmat Sugito tentang sepakbola sebagai
kisah. Seperti semua kisah, ia bisa membawa getir, bahagia yang tiba-tiba, atau
keduanya sekali waktu. Sekali waktu di dua piala dunia yang lewat, sebuah
yayasan tuna netra menggelar dengar radio bersama. Kaubisa tangkap kisah itu. Terlepas
dari segala intrik di sepakbola, pertandingan tak pernah berhenti di situ-situ
saja. Sepakbola adalah ujud kesetiaan dan rasa sayang, yang barangkali selalu
gagal kaumaknai di luar sepakbola.
Pemain datang pergi, tapi nyanyi dan dukungan kita masih di sini. Stadion
pindah sana sini, tapi jiwa kita tetap tinggal di nama yang niscaya, PSS
Sleman. Seperti kau tahu, musim ini adalah musim keduaku di luar Yogya, kota
kecil yang kaukenal sebagai rival atau kakak kandung. Tumbuh di tengah kota
sebagai pendukung tim kabupaten selalu mengasyikkan, kau akan menabung segala
caci-caci kawan sekampung sebagai doa dan pahala untuk tim kesayanganmu
Memaknai PSS adalah membaca sajak, membawanya di hidupmu sebagai
pelajaran untuk terus terang terhadap perasaan. Sedang cinta itu sendiri
adalah
ikhtiar yang tak putus, ketulusan yang tak dibicarakan, kesedihan yang
sehari lewat, kebahagiaan tanpa harapan, dan apapun istilah yang
kaupakai untuk
menggambarkannya. Semuanya sampai pada satu nama: PSS Sleman.