Saturday, February 22, 2014

PSS Sleman: Sebuah Cerita Besar

Kau tentu sudah banyak menduga aku akan bicara soal ini, dan kali ini dugaanmu benar. Hari ini adalah sehari jelang semifinal divisi utama LPIS, artinya Super Elja main tinggal menunggu waktu. Kau barangkali berpikir, final dari liga yang sia-sia adalah kebohongan paling wajar yang mungkin bisa dibayangkan. Pikiranmu tak meleset. Tapi ada satu celah yang tak bisa membohongimu, bahwa kebahagiaan tidak pernah berhenti pada kata final, semifinal maupun final itu sendiri. Kau tentu sering mendengar kata-kata ini, kukira semua orang pernah, “ bermainlah seperti semua pertandingan adalah pertandingan terakhir.” Lafleur, legenda Montreal yang mengalahkan Boston Bruins dengan memar di mana-mana yang mengatakan itu. Kukira, tanpa ia yang mengatakannya, kata-kata ini akan tetap populer. Kalau kau tak pernah mendengarnya, paling tidak kata-kata ini pernah terlintas di pikiranmu, “ puasalah seperti ini adalah ramadhan terakhirmu.” Aku tak tahu dari mana datang kalimat demikian, yang jelas keduanya sama-sama merujuk pada the last game, final, pucuk puncak dari sebuah tarekat. Kita tahu sama tahu, keduanya menawarkan kepura-puraan. Lewat kata “seperti”, segala usahamu cuma mentok pada tahap menyerupai. Namun sebagai sebuah motivasi, kata-kata demikian memang sah.
Setiap cinta layak dapat kerinduan paling lamat. Dalam hal ini, kita sebagai pecinta PSS Sleman tentu sadar, bahwa tiap pertandingan PSS yang kita nanti adalah bagian dari cinta itu sendiri. Artinya, jauh bahkan sebelum PSS jadi terkenal seperti sekarang, setiap pertandingan PSS tak pernah main-main. Pertandingan PSS, seperti semua pertandingan sepakbola lainnya, adalah kisah. Ia tak pernah berhenti pada kata “permainan.” Persiapan, jerih keringat, usaha panjang, gol, offside, keadilan, mafia, judi, kemiskinan, gairah, kidung-kidung suporter, semuanya adalah rangkaian alami untuk membuat permainan ini naik kelas menjadi kisah. Seperti kautahu, ungkapan naik kelas dari permainan ke kisah barusan memang ide pokoknya datang dari esai Zen Rahmat Sugito tentang sepakbola sebagai kisah. Seperti semua kisah, ia bisa membawa getir, bahagia yang tiba-tiba, atau keduanya sekali waktu. Sekali waktu di dua piala dunia yang lewat, sebuah yayasan tuna netra menggelar dengar radio bersama. Kaubisa tangkap kisah itu. Terlepas dari segala intrik di sepakbola, pertandingan tak pernah berhenti di situ-situ saja. Sepakbola adalah ujud kesetiaan dan rasa sayang, yang barangkali selalu gagal kaumaknai di luar sepakbola.
Pemain datang pergi, tapi nyanyi dan dukungan kita masih di sini. Stadion pindah sana sini, tapi jiwa kita tetap tinggal di nama yang niscaya, PSS Sleman. Seperti kau tahu, musim ini adalah musim keduaku di luar Yogya, kota kecil yang kaukenal sebagai rival atau kakak kandung. Tumbuh di tengah kota sebagai pendukung tim kabupaten selalu mengasyikkan, kau akan menabung segala caci-caci kawan sekampung sebagai doa dan pahala untuk tim kesayanganmu
Dalam dua tahun segalanya bisa sangat berubah, terutama sorot tajam orang-orang. Kukira, pencapaian tahun ini tak lebih tinggi dari pencapaian musim-musim sebelumnya, terlebih kita bermain di liga yang jadwalnya selalu berubah. Namun hegemoni yang diciptakan tentang PSS Sleman sangat jauh dari empat-lima tahun ke belakang. Dua bulan aku pulang musim panas kemarin, aku cuma dapat satu laga resmi PSS di Kuningan. Sisanya laga lawan Persijap yang berlabel ujicoba. Namun hei ! justru inilah yang ingin kubagi padamu, bahwa pertandingan-pertandingan itu sama berharganya dengan cerita-cerita yang kaubaca. Hegemoni adalah selera pasar, tapi aku meyakini ini justru dimulai dari tribun selatan. Ketika tribun selatan menjadi sangat kuat dan lebih besar, semangat mereka menyebar ke mana-mana dan ditangkap oleh siapa saja. Media adalah salah satu bagian saja yang ikut andil menciptakan hegemoni ini. Bila kaumerasa banyak kepalsuan dari ini, kau harusnya balik bertanya pada dirimu sendiri: sejauh mana kautemukan cinta dari PSS Sleman? Pertandingan besok akan kutunggu, selalu kutunggu, dan layak kautunggu, seperti pertandingan-pertandingan PSS lainnya. Penantian ini juga sebagai bahan untuk mawas diri, merendahkan hati dan merenung, pantaskah kita tinggal di hegemoni yang begini besar? Sudahkah kita melatih kaki kita lebih kuat untuk jalan yang mungkin akan lebih blangsat?
Memaknai PSS adalah membaca sajak, membawanya di hidupmu sebagai pelajaran untuk terus terang terhadap perasaan. Sedang cinta itu sendiri adalah ikhtiar yang tak putus, ketulusan yang tak dibicarakan, kesedihan yang sehari lewat, kebahagiaan tanpa harapan, dan apapun istilah yang kaupakai untuk menggambarkannya. Semuanya sampai pada satu nama: PSS Sleman.